DUA RISALAH
Miftah Bab al-Islam fi Arkan al-Islam wa al-Iman dan Siqayat al-‘Athsyan fi Tajwid al-Qur’an
Karya: KH. Mas Abdurahman al-Janakawi
Buku berukuran sedikit lebih besar dari buku saku ini dua naskah, yakni tentang rukun Islam dan rukun Iman sertta tentang cara membaca al-Quran (tajwid). Naskah pertama berjudul Miftah Bab al-Salam (hal 1-15), sedangkan naskah kedua berjudul Siqayat al-‘Athsyan fi Tajwid al-Qur’an (hal 16-43). Sesuai penjelasan penuliskan pada baris penutup (hal 43), risalah terakhir yang membahas tentang tajwid merupakan terjemahan dari sebuah kitab berjudul Fathurrahman.
Tetapi KH Abdurrahman bin Jamal sepertinya melakukan penerjemahannya secara bebas dengan mengambil hal-hal penting dan inti dari kitab tersebut.
Seperti diduga, buku kecil yang ditulis dalam huruf Jawi berbahasa Sunda ini ditulis untuk memenuhi kebutuhan bahan bacaan bagi siswa madrasah dalam bidang tauhid dan tajwid yang memang masih langka saat itu.
1. Kitab Tauhid
Nama kitab Tauhid yang ditulis oleh K.H. Mas Abdurrahman adalah Miftāh Bāb al-Salām fī Arkān al-Islām wal-īmān. Kitab ini merupakan risalah pertama dari kitab Dua Risālah (dimulai dari halaman 1-15).Kitab Dua Risālah atau lebih dikenal dengan ‘Aqaidini merupakan kitab wajib di Mathla’ul Anwar.
K.H. Mas Abdurahman beraliran Ash’ariyah, karena dalam kitab Dua Risālah selain membahas masalah-masalah fikih juga mengajarkan tentang sifat wajib bagi Allah 20, mustahil 20, jaiz 1 (h. 3-7).Kitab ini juga mengajarkan tentang sifat wajib bagi Rasul 4, mustahil 4, jaiz 1 (h. 10-11).Kitab ini berjumlah 15 halaman dan ditulis tanpa keterangan tahun.
Khusus mengenai penjelasan tentang 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil, dan 1 sifat jaiz atas Allah; ditambah 4 sifat wajib, 4 sifat mustahil, dan 1 sifat jaiz atas Rasul sebagaimana terdapat dalam kitab Miftāh Bāb al-Salām fī Arkān al-Islām wal-īmān, sepertinya merupakan ringkasan dari kitab Tijan ad-Ḍurār karya Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897 M)atau merupakan ringkasan dari kitab Sanūsiyah karya tokoh Ahlussunnah ‘Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi (1427-1490 M) yang menjelaskan sifat Allah secara panjang lebar beserta dalil-dalil yang mendukungnya. Menurut al-Sanusi, Allah memiliki sifat wajib berjumlah 20, sifat mustahil berjumlah 20, dan 1 sifat jaiz.Kemudian ditambah 4 sifat wajib, 4 sifat mustahil, dan 1 sifat jaiz atas Rasul.
Sifat wajib bagi Allah yang 20 tersebut adalah Wujūd (ada), Qidam (dahulu), Baqa’ (kekal), Mukhālafatu li al-ḥawādithi (berbeda dengan makhluk-Nya), Qiyāmuhu binafsihi (berdiri sendiri), Waḥdāniyat (Esa), Qudrat (berkuasa), Irādat (berkehendak), ‘Ilmu (mengetahui), Ḥayāt (hidup), Sama’ (mendengar), Baṣar (melihat), Kalām (berfirman), Qādiran (berkuasa), Murīdan (berkehendak), ‘Āliman (mengetahui), Ḥayyan (hidup), Samī’an (mendengar), Baṣīran (melihat), Mutakalliman (berbicara).
Sifat wajib bagi Allah yang 20 dibagi menjadi 4 bagian, yaitu: (1) Sifat Nafsiyah yaitu sifat Wujūd; (2) Sifat Salbiyah terdiri dari 5 sifat, yaitu Qidam, Baqa’, Mukhālafatu li al-ḥawādithi, Qiyāmuhu binafsihi, Waḥdāniyat; (3) Sifat Ma’ani terdiri dari 7 sifat, yaitu Qudrat, Irādat, ‘Ilmu, Ḥayāt, Sama’, Baṣar, Kalām; (4) Sifat Ma’nawiyah terdiri dari 7 sifat, yaitu Qādiran, Murīdan, ‘Āliman, Ḥayyan, Samī’an, Baṣīran, Mutakalliman.
Adapun sifat mustahil bagi Allah yang 20 adalah kebalikan dari sifat wajib, yaitu: ‘Adām (tidak ada), Ḥudūth (baru), Fanā’ (binasa), Mumāthalatu lilḥawādithi (serupa dengan makhluknya), Muhtajun ila ghairihi (membutuhkan yang lain), Ta’addud (berbilang), ‘Ajzun (lemah), Karāhah (terpaksa), Jahlun (bodoh), Mautun (mati), Summun (tuli), ‘Umyun (buta), Bukmun (bisu), ‘Ājizan (lemah), Mukrahan (terpaksa), Jāhilan (bodoh), Mayyitan (binasa), Aṣamma (tuli), A’mā (buta), Abkama (bisu).Sedangkan sifat jaiz bagi Allah yang 1 adalah fafi’lu kulli mumkinin aw tarkuhu (melakukan sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya; dalilnya adalah adanya alam).
Sifat wajib bagi Rasul yang 4 tersebut adalah Ṣidq (jujur), Amānah (terpercaya), Tablīgh (menyampaikan; transparan), dan Faṭānah (cerdas atau jenius).Adapun sifat mustahil bagi Rasul yang 4 adalah kebalikan dari sifat wajib, yaitu Kidhib (bohong), Khiyānat (menyimpang), Kitman (menyembunyikan), dan Balādah (bodoh).
Sedangkan sifat jaiz
bagi Rasul yang 1 adalah mā huwa min al-a’rāḍi al-bashariyah (sesuatu yang Rasul lakukan sebagian dari sifat-sifat kemanusiaan).
Dalam rumusan sifat Allah dan Rasul-Nya, yang berjumlah 50 (terdiri dari: 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil, dan 1 sifat jaiz atas Allah; ditambah 4 sifat wajib, 4 sifat mustahil, dan 1 sifat jaiz atas Rasul) sebagaimana dijelaskan di atas, nampaknya mengandung pengulangan tradisi masa klasik Islam ketika terjadi perdebatan sengit untuk mempertahankan keesaan Allah.
JikaMu’tazilah meniadakan sifat Allah yang terpisah dengan esensi-Nya, yang tak lain bertujuan agar tauhid Allah tidak tercemar oleh adanya hal-hal qadīm selain dari pada-Nya. Sebaliknya, kalangan Ash’ariyah berusaha mempertahankan sifat tersebut dalam rangka menjaga keesaan-Nya. Bagi aliran kalam Mu’tazilah, Tuhan tidak boleh mempunyai sifat; sedangkan bagi aliran kalam Ash’ariyah dan Māturīdiyah Samarqand dan Bukhārā, Tuhan mesti mempunyai sifat.
2. Kitab Tajwīd
Nama kitab Tajwīd yang ditulis oleh K.H. Mas Abdurrahman adalah Siqāyat al-‘Aṭshān fī Tajwīd al-Quran terjemahan dari kitabFatḥ al-Raḥmān.Kitab ini merupakan risalah kedua dari kitab Dua Risālah (dimulai dari halaman 16-43).Kitab ini berjumlah 28 halaman, ditulis tanpa keterangan tahun.Sebagaimana namanya Siqāyat al-‘Aṭshān (artinya bejana untuk memberi minum yang haus), kitab ini menjelaskan tentang pentingnya belajar ilmu tajwīd untuk mengetahui kode etik dan seni membaca al-Quran dengan baik dan benar (tartīl).
Dalam kata pengantar kitab tersebut, K.H. Mas Abdurrahman mengatakan, ketahuilah siapapun yang mau membaca al-Quran hendaknya dengan menajwidkan (membaguskan) bacaan al-Qurannya, karena Allah SwT telah berfirman:
أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
dan bacalah al-Quran itu dengan perlahan-lahan (tartīl). (QS. al-Muzzammil [73]: 4).
Berkata sayyidina ‘Ali raḍiya Allah ‘anhu, adapun maknanya tartil adalah mengeluarkan semua huruf al-Quran dari makhraj-makhrajnya, mengosongkan, dan mewaṣalkan pada tempat-tempatnya, yaitu yang diberi nama tajwīd.
Lalu beliau mengutip ḥadīth, Nabi saw bersabda:
رُبَّ قَارِئٍ لِلْقُرْآنِ وَالْقُرْآنُ يَلْعَنُهُ
Berapa banyak orang yang membaca al-Quran dan al-Quran melaknatnya.
Selanjutnya beliau mengutip perkataan Syekh Ibn al-Jazrī:
وَالْاَخْذُ بِالتَّجْوِيْدِ حَتْمٌ لَازِمٌ، مَنْ لَمْ يُجَوّدِ الْقُرْآنَ آثِمُ
Berpegang pada tajwīd itu sebuah keharusan, barang siapa yang tidak menajwīdkan al-Quran itu durhaka (dosa).
Oleh karena itu, mengerti ilmu tajwīd hukumnya adalah wajib atas setiap orang yang akan membaca al-Quran, dan dikarenakan masih banyak orang tua yang seusia K.H. Mas Abdurrahman yang tidak mengerti ilmu tajwīd maka beliau membuat risalah ilmu tajwīd diberi nama Siqāyat al-‘Aṭshān fī Tajwīd al-Quran terjemah Fatḥ al-Raḥmān.
Komentar
Posting Komentar
tinggalkan komentar di sini