Syaikh Agung Muhyiddin ibnu al-Arabi Al-Andalusi
Muhyiddin ibnu al-Arabi adalah salah seorang sufi di Abad pertengahan,
kehidupan dan tulisan-tulisannya sekarang banyak memengaruhi pemikiran
di Timur maupun Barat.
Oleh masyarakat Arab, ia dikenal sebagai Syeikh al-Akbar, 'Syeikh
Agung', sedang orang-orang Kristen Barat melalui terjemahan langsung
mengenalnya; 'Doktor Maksinius'. Ia wafat pada abad ke-13.
Dari Mana Datangnya Gelar?
Ja'far ibnuYahya dari Lisabon memutuskan menjumpai Guru Agung Sufi, ia
pun melakukan perjalanan dari Makkah sebagaimana pemuda lainnya. Di sana
ia bertemu dengan orang asing misterius, seorang laki-laki mengenakan
jubah hijau, yang berkata kepadanya sebelum ia berbicara apa pun:
"Engkau mencari Syeikh Agung, Guru yang sangat masyhur. Tetapi engkau
mencarinya di Timur ketika ia berada di Barat. Dan ada sesuatu hal yang
tidak benar dalam pencarianmu."
Ia mengirim Ja'far kembali ke Andalusia, untuk menjumpai seseorang bernama Muhyiddin ibnu al-Arabi dari suku Hatim-Tai.
"Dia itulah Guru Agung."
Tanpa mengatakan kepada siapa pun mengapa ia mencarinya, Ja'far
menemukan keluarga Tai di Murcia dan bertanya kepada putranya. Ja'far
tahu bahwa sesungguhnya ia (Guru Agung) berada di Lisabon ketika dirinya
berangkat pergi. Akhirnya ia menemukannya di Seville.
"Di sana," ujar seorang pendeta, "Itulah Muhyiddin." Ia menunjuk kepada
seorang pelajar muda, membawa sebuah kitab mengenai Tradisi (Hadis),
tampak tergesa-gesa keluar dari ruang kuliah.
Ja'far sangat bingung, tetapi dihentikannya pemuda tersebut dan bertanya, "Siapakah Guru Agung?"
"Aku membutuhkan waktu untuk menjawab pertanyaan itu," jawabnya.
"Apakah engkau Muhyiddin ibnu al-Arabi dari suku Tai?" tanya Ja'far sedikit meremehkan.
"Benar."
"Jika demikian aku tidak membutuhkanmu."
Tigapuluh tahun kemudian di Aleppo, ia melihat Ja'far memasuki ruang
kuliah Syeikh Agung, Muhyiddin ibnu al-Arabi dari suku Tai. Muhyiddin
melihatnya ketika masuk, dan berkata:
"Sekarang aku siap menjawab pertanyaanmu dulu, sebenarnya tidak perlu
ada pertanyaan itu. Tigapuluh tahun lalu Ja'far, engkau tidak
membutuhkan aku. Apakah engkau masih tidak membutuhkan diriku? Orang
Berjubah Hijau mengatakan ada sesuatu yang salah dalam pencarianmu.
Yaitu waktu dan tempat."
Ja'far ibnu Yahya lantas menjadi salah seorang murid al-Arabi yang terkemuka.
Impian di Mosul
Seorang pencari ayat suci yang memberi pengalaman batiniah yang penting,
masih menderita karena kesulitan menafsirkannya secara konstruktif Ia
minta petunjuk kepada Syeikh Agung Ibnu al-Arabi tentang mimpi yang
sangat mengganggunya ketika berada di Mosul, Iraq.
Ia melihat Guru Ma'ruf yang luhur dari Karkh seolah duduk di
tengah-tengah api neraka. Bagaimana mungkin Ma'ruf yang agung berada
dalam neraka?
Apa yang kurang dari daya permahamannya, adalah keadaannya sendiri. Ibnu
al-Arabi, dari permahamannya terhadap si Pencari jati diri dan
kemanusiaannya, menyadari bahwa intisarinya adalah melihat Ma'ruf
dikelilingi api.
Api merupakan penjelasan tentang bagian jiwa yang belum dikembangkan,
sebagai sesuatu dimana Ma'ruf yang agung terperangkap. Makna
sesungguhnya adalah rintangan antara keberadaan Ma'ruf dan keberadaan si
Pencari jati diri.
Jika si Pencari (jati diri) ingin mencapai suatu keadaan yang setara
dengan Ma'ruf, pencapaian yang ditandai dengan sosok Ma'ruf, maka ia
harus melalui satu tahap yang dalam mimpinya digambarkan dengan
lingkaran api. Dengan penafsiran ini si Pencari dapat memahami
situasinya, dan menunjukkan pada dirinya apa yang masih perlu dilakukan.
Kesalahannya adalah menganggap gambaran Ma'ruf adalah Ma'ruf, dan api
adalah api Neraka. Bukan sekadar kesan (Naqsy) tetapi penggambaran yang
benar terhadap kesan tersebut, seni yang disebut Tasvir (pemberian makna
terhadap gambaran) itulah fungsi seorang Pembimbing yang Benar.
Tiga Bentuk Pengetahuan
Ibnu al-Arabi dari Spanyol, menginstruksikan para pengikutnya dalam keputusannya yang paling kuno ini:
Ada tiga bentuk pengetahuan. Pertama, pengetahuan kecerdasan otak, yang
sesungguhnya hanyalah keterangan dan kumpulan kenyataan, dan pemanfaatan
sampai pada pengertian-pengertian atau rencana para cendekiawan lebih
jauh. Ini disebut ajaran kecendekiawanan (intelektualisme).
Kedua, pengetahuan tentang keberadaan, meliputi perasaan yang emosional
(renjana) dan kejanggalan, di mana manusia menganggap bahwa ia merasakan
sesuatu tetapi tidak dapat memanfaatkannya. Ini disebut
(emosionalisme).
Ketiga, pengetahuan sejati yang disebut Pengetahuan atas Realitas. Pada
bentuk ini, manusia dapat merasakan apa yang benar, sejati, melampaui
batas-batas pemikiran dan perasaan. Para sarjana dan ilmuwan terpusat
pada bentuk pertama pengetahuan. Kaum emosionalis dan eksperimentalis
menggunakan bentuk kedua. Lainnya memadukan keduanya, atau memanfaatkan
salah satu sebagai pilihan.
Komentar
Posting Komentar
tinggalkan komentar di sini