Cari keripik pisang klik disini Historiografi
close

*** Cari keripik pisang klik disini***

Langsung ke konten utama

Historiografi

Historiografi adalah ilmu yang meneliti dan mengurai informasi sejarah berdasarkan sistem kepercayaan dan filsafat. Walau tentunya terdapat beberapa bias (pendapat subjektif) yang hakiki dalam semua penelitian yang bersifat historis (salah satu yang paling besar di antaranya adalah subjektivitas nasional), sejarah dapat dipelajari dari sudut pandang ideologis, misalnya: historiografi Marxisme.
Ada pula satu bentuk pengandaian sejarah (spekulasi mengenai sejarah) yang dikenal dengan sebutan "sejarah virtual" atau "sejarah kontra-faktual" (yaitu: cerita sejarah yang berlawanan—atau kontra—dengan fakta yang ada). Ada beberapa ahli sejarah yang menggunakan cara ini untuk mempelajari dan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang ada apabila suatu kejadian tidak berlangsung atau malah sebaliknya berlangsung. Hal ini mirip dengan jenis cerita fiksi sejarah alternatif.
Lihat juga :ilmu bantu sejarah

Metode kajian sejarah

Ahli-ahli sejarah terkemuka yang membantu mengembangkan metode kajian sejarah antara lain: Leopold von Ranke, Lewis Bernstein Namier, Geoffrey Rudolf Elton, G. M. Trevelyan, dan A. J. P. Taylor. Pada tahun 1960an, para ahli sejarah mulai meninggalkan narasi sejarah yang bersifat epik nasionalistik, dan memilih menggunakan narasi kronologis yang lebih realistik.
Ahli sejarah dari Prancis memperkenalkan metode sejarah kuantitatif. Metode ini menggunakan sejumlah besar data dan informasi untuk menelusuri kehidupan orang-orang dalam sejarah.
Ahli sejarah dari Amerika, terutama mereka yang terilhami zaman gerakan hak asasi dan sipil, berusaha untuk lebih mengikutsertakan kelompok-kelompok etnis, suku, ras, serta kelompok sosial dan ekonomi dalam kajian sejarahnya.
Dalam beberapa tahun kebelakangan ini, ilmuwan posmodernisme dengan keras mempertanyakan keabsahan dan perlu tidaknya dilakukan kajian sejarah. Menurut mereka, sejarah semata-mata hanyalah interpretasi pribadi dan subjektif atas sumber-sumber sejarah yang ada. Dalam bukunya yang berjudul In Defense of History (terj: Pembelaan akan Sejarah), Richard J. Evans, seorang profesor bidang sejarah modern dari Universitas Cambridge di Inggris, membela pentingnya pengkajian sejarah untuk masyarakat.

Teori sejarah Marxian

Teori marxis tentang materialisme sejarah menteorikan bahwa masyarakat pada dasarnya ditentukan oleh kondisi material pada waktu tertentu – dengan kata lain, hubungan yang dimiliki satu orang dan yang lain untuk memenuhi kebutuhan dasarnya serta keluarganya seperti makan, pakaian, tempat tinggal. Secara keseluruhan, Marx dan Engels mengklaim telah mengidentifikasi lima tahap berturut-turut dari perkembangan kondisi material ini di Eropa Barat. Historiografi Marxis dahulunya merupakan pandangan ortodoks di Uni Soviet, tapi sejak jatuhnya komunisme di sana pada 1991, Mikhail Krom mengatakan hal tersebut telah melemah ke batas kesarjanaan.

Sejarah semu

Sejarah semu adalah istilah yang diterapkan pada tulisan-tulisan yang dianggap bersifat historis tetapi menyimpang dari konvensi historiografis standar sehingga melemahkan kesimpulannya. Sejarah semu terkait erat dengan revisionisme sejarah. Karya-karya yang menarik kesimpulan kontroversial dari bukti-bukti sejarah baru, spekulatif, atau yang diperdebatkan, terutama di bidang nasional, politik, militer, dan religius, sering kali ditolak dan dianggap sebagai sejarah semu.

Pengajaran sejarah

Kesarjanaan vs pengajaran

Pertempuran intelektual besar terjadi di Britania pada awal abad ke-20 tentang posisi pengajaran sejarah di universitas. Di Oxford dan Cambridge, kesarjanaan sejarah diabaikan. Charles Harding Firth, Profesor Regius sejarah Oxford pada 1904 mencemooh sistem ini karena paling bagus hanya menghasilkan jurnalis dangkal. Pengajar Oxford, yang memiliki suara lebih banyak dibandingkan para profesor, mempertahankannya dengan menyatakan bahwa sistem ini berhasil menghasilkan negarawan, administrator, uskup, dan diplomat Britania terkemuka. Selain itu, misi mereka sama berharganya dengan melatih para cendekiawan. Para pengajar mendominasi perdebatan itu sampai setelah Perang Dunia II. Sistem ini memaksa calon cendekiawan muda untuk mengajar di sekolah-sekolah terpencil, seperti di Universitas Manchester, di mana Thomas Frederick Tout memprofesionalkan program sarjana sejarah dengan memperkenalkan kajian sumber asli dan keharusan untuk menulis tesis.
Di Amerika Serikat, kesarjanaan dikonsentasikan di universitas-universitas utama penghasil PhD, sementara sejumlah besar perguruan tinggi dan universitas lainnya fokus pada pengajaran sarjana (strata satu). Pada abad ke-21, kecenderungan perguruan-perguruan tersebut semakin menuntut produktivitas ilmiah dari staf pengajar mudanya. Selain itu, universitas semakin bergantung pada asisten paruh waktu yang lebih murah untuk melakukan sebagian besar pengajaran di kelas.

Nasionalisme

Sejak permulaan sistem sekolah nasional pada abad ke-19, pengajaran sejarah untuk mempromosikan sentimen nasional menjadi prioritas utama. Di Amerika Seritkat setelah Perang Dunia Pertama, sebuah gerakan kuat muncul di tingkat universitas untuk mengajarkan mata kuliah tentang Peradaban Barat, untuk memberikan mahasiswa perasaan warisan bersama dengan Eropa. Setelah 1980, perhatian di AS semakin bergerak ke arah pengajaran sejarah dunia atau mengharuskan mahasiswa untuk mengambil mata kuliah tentang budaya non-Barat, untuk mempersiapkan mereka hidup dalam ekonomi global.
Di tingkat universitas, sejarawan memperdebatkan permasalahan mengenai apakah sejarah lebih merupakan ilmu sosial atau humaniora. Banyak yang memandang sejarah masuk ke keduanya. Di Indonesia, sebagian besar program ilmu sejarah dikelompokkan ke dalam fakultas humaniora.
Pengajaran sejarah di sekolah-sekolah Prancis dipengaruhi oleh Nouvelle histoire, yang disebarluaskan setelah tahun 1960 oleh Cahiers pédagogiques and Enseignement dan jurnal-jurnal lain untuk para guru. Institut national de recherche et de documentation pédagogique (INRDP), juga berpengaruh dalam pengajaran sejarah. Joseph Leif, Inspektur Jenderal pelatihan guru mengatakan murid anak-anak harus belajar mengenai pendekatan sejarawan serta mengenai fakta dan tanggal. Louis François, Dekan kelompok Sejarah/Geografi di Inspectorate of National Education menyarankan guru untuk menyediakan dokumen bersejarah dan mempromosikan "metode aktif" yang akan memberi siswa "kebahagiaan luar biasa atas penemuan". Para pendukungnya menyatakan itu adalah reaksi terhadap metode menghafal nama dan tanggal yang dikaitkan dengan pengajaran sejarah, sehingga membuat siswa bosan. Kelompok tradisionalis memprotes keras karena itu adalah inovasi postmodern yang dapat menjadikan siswa menjadi abai terhadap patriotisme Prancis dan identitas nasional.

Bias di pengajaran sekolah


Buku sejarah di toko buku
Di beberapa negara, buku pelajaran sejarah adalah alat untuk menumbuhkan nasionalisme dan patriotisme, serta memberi siswa pandangan resmi mengenai musuh nasional.
Di banyak negara, buku pelajaran sejarah disponsori oleh pemerintah nasional dan ditulis dengan memprioritaskan warisan nasional. Misalnya di Jepang, kutipan mengenai Pembantaian Nanking telah dihapus dari buku pelajaran, serta topik keseluruhan Perang Dunia Kedua hanya dibahas sepintas. Hal ini mendapat protes dari negara lainnya. Hal ini juga menjadi kebijakan standar di negara komunis untuk hanya menyajikan historiografi Marxis yang kaku.
Di Amerika Serikat, sejarah Amerika Serikat Selatan, perbudakan, dan Perang Saudara Amerika adalah topik kontroversial. McGraw-Hill Education misalnya, dikritik karena buku pelajarannya menjelaskan orang Afrika yang dibawa ke perkebunan Amerika sebagai "pekerja", bukannya budak seperti yang sebenarnya.
Sejarawan akademis sering berperang melawan politisasi buku pelajaran, dan terkadang berhasil.
Di Jerman abad ke-21, kurikulum sejarah dikendalikan oleh masing-masing 16 negara bagian. Serta ditandai bukan oleh superpatriotisme, melainkan oleh "nada yang hampir pasifistik dan sengaja tidak patriotik" dan mencerminkan "prinsip-prinsip yang dirumuskan oleh organisasi internasional seperti UNESCO dan Dewan Eropa, sehingga berorientasi pada hak asasi manusia, demokrasi dan perdamaian." Hasilnya, "buku pelajaran di Jerman biasanya menurunkan kebanggaan dan ambisi nasional, serta bertujuan untuk mengembangkan pemahaman kewarganegaraan yang berpusat pada demokrasi, progres, hak asasi manusia, perdamaian, toleransi, dan Keeropaan."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Calon Arang di Kediri: Asal Muasal Kisah Seram Leak di Bali

soekarno merokok

BEBERAPA KIBUYUT PANDEGLANG BANTEN

AL-BARZANJI (البرزنج)

Dua Risalah Karya KH Mas Abdurrahman Al Janakawi

SYAIKH MUHYIDDIN

TARIKH : sejarah berebut hadits shahih

RAJA KAHURIPAN

TERIMAKASIH TELAH BERKUNJUNG